Rasulullah Dan Haji Wada (1)
Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, melaksanakan kewajiban dan memberi nasihat.” Lalu, beliau bersabda sambil mengacungkan jari telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada orang-orang, “Ya Allah, persaksikanlah!” Beliau mengucapkannya tiga kali.
Adapun yang berseru di hadapan orang-orang—yaitu di Arafah—menirukan sabda beliau ini adalah Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaf. Setelah Nabi menyampaikan pidato tersebut, Allah menurunkan
firman-Nya, sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Ma’idah (5) ayat 3:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu….”
BACA JUGA: Jamaah Harus Tahu, Ini 6 Larangan dalam Ibadah Haji
Umar bin Al-Khaththab yang mendengarnya tak kuasa menahan air matanya. Ada yang bertanya, “Mengapa engkau menangis?” Dia menjawab, “Sesungguhnya setelah kesempurnaan itu hanya ada kekurangan.”
Setelah pidato itu, Bilal melantunkan adzan dan disusul iqamah. Kemudian, Rasulullah mendirikan shalat Zuhur bersama orang-orang. Setelah Bilal melantunkan iqamah lagi, beliau melanjutkan dengan shalat Asar, dan tidak ada shalat antara keduanya.
Kemudian beliau menunggang Al-Qashwa’ hingga tiba di tempat wukuf. Di sana, Al-Qashwa’ menderum hingga perutnya menempel di pasir. Beliau tetap berada di atas punggung Al-Qashwa’ hingga matahari terbenam. Remang senja lambat laun mulai menghilang. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanan ke Muzdalifah dengan memboncengkan Usamah.
Beliau shalat Magrib dan Isya’ di sana, dengan satu adzan dan dua iqamah, tanpa ada shalat apa pun antara keduanya. Kemudian beliau berbaring hingga fajar menyingsing. Setelah adzan dan iqamah, beliau mendirikan shalat Subuh, lalu naik ke punggung Al-Qashwa’ dan pergi ke Al-Masy’ar Al-Haram. Dengan menghadap ke arah kiblat, beliau berdoa, bertakbir, bertahlil, dan mengesakan Allah.
Dari Muzdalifah beliau bertolak ke Mina sebelum matahari terbit, dengan memboncengkan Al-Fadhl bin Abbas, hingga tiba di Mahsar. Kemudian melewati jalan pertengahan yang menghubungkan ke Jamrah Kubra, yang ada di dekat sebuah pohon pada masa itu, yang disebut Jamrah Aqabah atau Jamrah Ula.
Beliau melemparnya dengan tujuh batu kerikil, sambil bertakbir setiap kali lemparan. Kemudian, beliau beranjak ke tempat penyembelihan hewan kurban dan menyembelih 63 ekor unta dengan tangan beliau sendiri, kemudian beliau menyerahkan kepada Ali bin Abu Thalib, yang menyembelih 37 ekor unta, hingga semuanya genap 100 ekor unta. Beliau memerintahkan untuk mengambil sebagian daging dari masing-masing ekor unta, lalu dimasak dan beliau memakan daging serta meminum kuahnya.
Dengan menunggang Al-Qashwa’, beliau pergi menuju Ka’bah dan shalat Zuhur di Mekkah. Beliau menghampiri orang-orang dari Bani Abdul Muththalib yang sedang mengambil air dari sumur Zamzam. Beliau bersabda, “Biarkanlah orang-orang Bani Abdul Muththalib. Kalau tidak karena ada orang-orang yang akan merebut air minum kalian, tentu aku sudah bergabung bersama kalian.” Lalu, mereka menyodorkan setimba air, lalu beliau meminumnya.”
Pada hari penyembelihan atau 10 Dzulhijjah, tepatnya pada waktu Dhuha, Nabi menyampaikan pidato dari atas punggung keledai, yang ditirukan Ali dengan suara nyaring.
Orang-orang ada yang berdiri dan ada pula yang duduk. Isi pidato kali ini banyak mengulang pidato yang beliau sampaikan sehari sebelumnya. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa dia berkata, “Nabi menyampaikan pidato kepada kami pada hari kurban.
Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya zaman itu berputar seperti bentuknya saat langit dan bumi diciptakan. Satu tahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan suci, tiga bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, serta Rajab yang terletak antara dua Jumadil Akhir dan Sya’ban.
Beliau bertanya, ‘Apakah kalian mengetahui, hari apakah ini?” Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui’. Beliau terdiam sejenak sehingga kami menduga bahwa beliau akan menamakannya bukan dengan namanya (yang sudah kami kenal).
Beliau bersabda, ‘Bukankah sekarang ini hari Nahar?’ Kami menjawab, ‘Benar’. Beliau bertanya lagi, ‘Bulan apakah ini?’ Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui’. Beliau terdiam sejenak lagi sehingga kami menduga bahwa beliau akan menamakannya bukan dengan namanya (yang sudah kami kenal). Beliau bersabda, ‘Bukankah ini bulan Dzulhijjah?’
Kami menjawab, ‘Benar’. Kemudian, beliau bertanya lagi, ‘Negeri apakah ini?’ Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.’ Sejenak beliau kembali terdiam sehingga sekali lagi kami pun menduga bahwa beliau akan menamakannya bukan dengan namanya (yang sudah kami kenal). Beliau bersabda, ‘Bukankah ini Negeri Haram? Kami menjawab, ‘Benar’.
Kemudian, beliau bersabda, ‘Sesungguhnya darah kalian, harta-harta kalian haram atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini hingga hari kalian berjumpa dengan Rabb kalian. Bukankah aku telah menyampaikannya?’ Mereka menjawab, “Ya, sudah’.
Kemudian, beliau melanjutkan, ‘Ya Allah, saksikanlah. Dan janganlah kalian kembali menjadi kafir sepeninggalku, kalian saling memukul tengkuk kalian satu sama lain (saling membunuh). Maka, hendaklah yang hadir menyampaikannya kepada yang tidak hadir karena banyak orang yang disampaikan dapat lebih mengerti daripada orang yang mendengar.’”
Dalam suatu riwayat disebutkan, beliau bersabda dalam pidato tersebut, “Ketahuilah, janganlah seseorang menganiaya diri sendiri, menganiaya anaknya, dan anak menganiaya bapaknya. Ketahuilah. sesungguhnya setan telah putus asa untuk dapat disembah di negeri kalian ini selama-lamanya, tetapi dia akan ditaati dalam kaitannya dengan amal-amal yang kalian remehkan, dan dia pun ridha kepadanya.”
Pada hari-hari tasyrik, beliau berada di Mina untuk melaksanakan manasik haji lainnya dan mengajarkan syariat, berzikir kepada Allah, menegakkan sunnah-sunnah petunjuk berdasarkan millah Ibrahim yang mengenyahkan tanda-tanda syirik dan pengaruhnya.
BACA JUGA: Berhaji Itu Setiap Hari
Pada sebagian hari Tasyrik itu beliau juga menyampaikan pidato. Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad hasan dari Sira’ binti Nabhan, dia berkata, “Rasulullah ﷺ menyampaikan pidato kepada kami pada hari Ru’us. Beliau bersabda, ‘Bukankah hari ini adalah pertengahan hari-hari Tasyrik?’” Pidato beliau pada hari ini sama dengan pidato beliau pada hari kurban. Pidato ini disampaikan setelah turunnya Surat An-Nashr (Surah ke-110).
Pada hari Nafar Kedua—13 Dzulhijjah—Nabi melakukan nafar dari Mina hingga tiba di kaki bukit perkampungan Bani Kinanah. Beliau berada di sana menghabiskan sisa hari itu dan malam harinya. Jadi, beliau shalat Zuhur, Ashar, Magrib, dan Isya di sana, lalu tidur barang sejenak.
Kemudian, beliau kembali ke Ka’bah dan melakukan thawaf wada’. Beliau juga memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan thawaf. Setelah seluruh manasik haji dilaksanakan, beliau memerintahkan untuk kembali ke Madinah Munawwarah, tanpa mengambil waktu untuk istirahat, agar perjuangan ini terasa murni karena Allah dan di jalan-Nya.[]
HABIS | SUMBER: PUSAT STUDI ISLAM